CONTOH MAKALAH
A. Latar Belakang Penelitian
Sesuai dengan adanya tugas pembuatan makalah dalam mata pelajarang Bahasa Indonesia dengan itu tim kami dengan sepakat membuat makalah dengan judul “ Sejarah Kerajinan Batu di Desa Sidoarjo”. Yang kami anggap sebagai bahan kajian kami yang sangat menarik.
B. Masalah Penelitian
- Bagaimana awal berdirinya kerajinan batu di desa Sidoharjo?
- Bagaimana perkembangan kerajinan batu di desa Sidoharjo?
- Untuk mengetahui bagaimana awal berdirinya kerajinan patung di desa Sidoharjo.
- Untuk mengetahui bagaimana perkembangan kerajinan patung di desa Sidoharjo
- Kisah Anathapindika (Sang Pendukung Utama Buddha)
- Objek Fisik
- Objek Pengingat
- Objek Perwakilan
Jenis kedua adalah objek pemujaan yang memiliki hubungan dengan 'Yang Tercerahkan' dan telah digunakan oleh Beliau (Paribhogika), seperti mangkuk pindapata;
Jenis ketiga adalah simbol yang tampak (Uddesika).
Dari ketiga pendukung pemujaan ini, yang pertama belum memungkinkan selama Bhagav? masih hidup.
Yang ketiga tidaklah sesuai bagi mereka yang tidak terpuaskan hanya dengan gambar atau simbol. Maka yang tersedia adalah hal kedua.
Pohon Bodhi di Uruvela tampaknya merupakan objek terbaik yang berfungsi sebagai pengingat pada Bhagav?. Dibawah pernaungannya Beliau telah menemukan pintu menuju Tanpa-kematian, dan telah berjasa memberi pernaungan selama minggu pertama pencerahan Beliau. Maka diputuskan untuk menanam tunas pohon ini di Savatthi.
Y.M. Mahamoggallana membawa potongan dari pohon asli, yang kemudian ditanam di gerbang Jetavana di hadapan orang-orang istana dan para bhikkhu serta umat awam yang terkenal. Y.M. Ananda memberikan anak pohon itu kepada raja untuk upacara penanaman. Namun Raja Pasenadi membalas, dengan penuh kerendahan hati, bahwa ia menjalani hidup ini hanya sebagai pengurus posisi raja. Akan jauh lebih sesuai bagi seseorang yang dekat dengan Ajaran untuk menanam pohon itu. Maka ia memberikan anak pohon itu kepada An?thapindika, yang berdiri di sebelahnya.
Pohon itu tumbuh dan menjadi objek pemujaan para umat awam yang berbakti. Atas permintaan Y. M. Ananda, Sang Buddha menghabiskan semalam duduk di bawah pohon itu untuk menganugerahkan pentahbisan istimewa yang lain. Anathapindika seringkali pergi ke pohon itu dan menggunakan ingatan yang berhubungan dengannya dan semangat spiritual yang diterimanya di sana untuk memusatkan pikirannya kepada Sang Bhagava.
(Jat. 479)
Dari kisah diatas, patung termasuk dibagian ketiga, yaitu sebagai objek perwakilan, simbol yang tampak. Fungsinya sendiri sebagai pengingat, sebagai simbol yang mengingatkan kita akan sosok Buddha sebagai teladan hidup kita semua.
Sedangkan asal mula patung sendiri dimulai pada masa Yunani memasuki India. Perpaduan antara budaya Yunani klasik dan Buddhis memunculkan bentuk manifestasi seni aliran Buddha-Yunani yang berkembang selama hampir 1.000 tahun di Asia Tengah. Seni Buddha-Yunani memiliki ciri khas realisme idealistik seni Yunani Helenis dan merupakan perwujudan pertama Sang Buddha dalam bentuk manusia, yang telah membantu membentuk kanon seni dan terutama teknik perpatungan Buddha di seluruh benua Asia sampai sekarang. Seni juga merupakan contoh unik perpaduan budaya antara tradisi Barat dan Timur yang tak tercapai dalam bentuk seni yang lainnya sampai tahap ini.
Asal mula seni Buddha-Yunani bisa ditemukan di kerajaan Baktria-Yunani yang Helenistik dan berdiri antara tahun (250 SM - 130 SM), dan sekarang terletak di Afganistan, dari mana budaya Helenistik Yunani tersebar ke anak benua India dengan didirikannya kerajaan Yunani-India (180 SM-10 SM). Di bawah kaum Yunani-India (Yawana) dan kemudian Kushan, interaksi antara budaya Yunani dan Buddha berkembang di daerah Gandhara, yang sekarang terletak di Pakistan bagian utara, sebelum menyebar lebih lanjut ke India, mempengaruhi kesenian Mathura, dan kemudian kesenian Buddha kekaisaran Gupta, yang juga menyebar ke Asia Tenggara. Pengaruh seni Buddha-Yunani juga menyebar ke utara menuju Asia Tengah, dan dengan kuat membentuk kesenian dataran rendah Tarim di pintu gerbang ke Tiongkok, dan akhirnya pengaruhnya mencapai Tiongkok, Korea dan Jepang.
Langsung setelah India diinvasi oleh orang Yunani untuk membentuk kerajaan Yunani-India, perpaduan antara unsur-unsur Helenistik dan Buddha mulai muncul. Hal ini juga didukung oleh sikap para raja-raja Yunani yang terbuka terhadap agama Buddha. Maka gaya seni ini berkembang selama beberapa abad dan tampaknya berkembang lebih lanjut semasa kekaisaran Kushan mulai abad pertama Masehi.
Kurang lebih antara abad pertama SM dan abad pertama, perwujudan Buddha secara antropomorfis (bentuk manusiawi) pertama dikembangkan. Inovasi ini, yang sebenarnya dilarang ajaran Buddha, langsung meraih kecanggihan kualitas tinggi dari bentuk seni perpatungan. Gaya ini secara alami diilhami gaya seni pemahatan patung yang berasal dari Yunani Helenistik.
Banyak unsur-unsur stilistik dalam menggambarkan sang Buddha merujuk kepada pengaruh Yunani: toga model Yunani, pose contrapposto Buddha yang, rambut keriting gaya Laut Tengah dan sanggul atas yang nampaknya diambil dari gaya Belvedere Apollo(330 SM), dan ciri rupa wajah-wajah, semua dibuat menggunakan realisme artistik yang kuat.
Sang raja Baktria-Yunani Demetrius I (205-171 SM) sendiri, kemungkinan besar adalah model citra Sang Buddha. Ia adalah raja dan penyelamat India, seperti ditekankan oleh penerusnya Raja Apollodotus I dan Menander I, yang secara resmi disebut sebagai Basileos Sothros "Raja Penyelamat" dalam legenda dwibahasa Yunani dan bahasa Kharoshthi pada koin-koin mereka. Demetrius disebut sebagai Dharmamitra (Mitra Dharma) dalam teks India Yuga-Purana. Agama Buddha berkembang pada pemerintahannya dan penerusnya, ketika agama ini ditindas oleh dinasti India, Sunga di sebelah Timur.
Patung-patung Buddha Helenistik awal menggambarkannya dalam gaya seorang raja, di mana simbol-simbol tradisional Buddha (Mandala, Singgasana kosong, Pohon Bodhi, Singa-singa) tidak ada. Demetrius kemungkinan dikeramatkan sebagai dewa, dan patung-patung Buddha Helenistik pertama yang kita ketahui kemungkinan merupakan gambaran dari raja Yunani yang ideal, berwibawa, namun ramah dan terbuka terhadap budaya India. Ketika semakin banyak unsur Buddha dimasukkan, mereka menjadi pusat dalam aliran Buddha dan mempengaruhi representasi Buddha dalam seni Buddha-Yunani yang lebih mutakhir.
Sebuah ciri khas lain Demetrius ialah bahwa beliau diasosiasikan dengan Buddha: mereka sama-sama memiliki dewa pelindung yang sama. Di seni Gandhara, Sang Buddha seringkali diperlihatkan di bawah perlindungan dewa Yunani Herakles, yang berdiri dengan gadanya (dan kemudian dengan tongkat intan) yang disandarkan pada lengannya. Representasi Herakles yang kurang lazim ini sama dengan yang ada di belakang koin Demetrius, dan hal ini hanya diasosiasikan kepadanya (dan putranya Euthydemus II), dan hanya terlihat pada sisi belakang koin-koinnya.
Kemudian, figur Sang Buddha dimasukkan dalam desain-desain arsitektural seperti pilar-pilar kolom Korintus dan membeku. Adegan-adegan kehidupan Buddha juga sering digambarkan dalam sebuah suasana arsitektoral Yunani dengan para protagonis memakai pakaian Yunani.
Jadi, asal mula perpatungan Buddha yang ada saat ini merupakan perkembangan dari bentuk seni Buddha-Yunani yang berkembang beberapa abad yang lalu.
Patung Buddha yang ada pada saat ini sering disalah-artikan dan disalahgunakan sebagai objek untuk meminta ampun, meminta pertolongan maupun konsultasi masalah hidup. Yang lebih parah lagi, patung-patung tersebut dianggap sebagai suatu personal yang hidup hingga terdapat begitu banyak pantangan agar tidak menyentuh patung Buddha sebelum mencuci tangan, membersihkan patung Buddha dengan berbagai macam kembang, hingga yang paling buruk, menganggap didalam patung Buddha tersebut terdapat Buddha-nya.
Hal tersebut justru dapat memperburuk citra Buddhis. Patung-patung tersebut hanya sebatas objek pengingat, perwakilan Buddha dan simbol keteladanan agar kita selalu ingat.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Metode Kalitatif Metode Kalitatif yaitu : Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik, interpretatif, konstruktivis, naturalistik-etnografik, pendekatan fenomenologis dan penelitian dengan pola pencarian dari dalam. memulai kegiatannya dengan konsep-konsep yang sangat umum, kemudian selama penelitian, konsep-konsep yang sangat umum itu diubah-ubah dan direvisi sampai bertemu dengan kesimpulan yang sangat kuat. Dengan kata lain, variabel ditemukan dan dirumuskan kembali, bukan di awal. variabel merupakan produk penelitian yang ditemukan kemudian. penelitian kualitatif menggunakan lensa besar dan menampak serta memperhatikan pola-pola saling berhubungan antara berbagai variabel yang sebelumnya belum pernah ditemukan. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan holistik, menyeluruh. Penelitian kualitatif menjadikan peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian untuk mengumpulkan data atau informasi.
BAB 4 ANALISIS DATA
- Selayang Pandang
Menurut cerita, bahan baku untuk pemugaran Candi Borobudur diambil dari Lereng Gunung Merapi tersebut. Ketika itu, Dusun Prumpung merupakan tempat transit bahan baku sebelum dibawa ke Candi Borobudur karena memang letaknya yang cukup strategis, yaitu berada tepat di tengah-tengah antara Lereng Gunung Merapi dengan Candi Borobudur. Pada tahun 1930, tiga orang pemahat batu dari Dusun Prumpung ini dipekerjakan oleh Theodoor Var Erp untuk memugar Candi Borobudur. Salah satu dari ketiga orang tersebut adalah Salim Djajapawiro. Dari keturunan Salim Djajapawiro inilah seni pahat batu mulai nampak dan berkembang di Dusun Prumpung.
Doelkamid Djajaprana atau yang akrab dipanggil Djayaprana adalah salah seorang putra Salim Djajapawiro yang disebut-sebut sebagai perintis kerajinan pahat batu di Dusun Prumpung pada tahun 1953. Berawal dari idenya, Djajaprana mengajak dua orang saudaranya Ali Rahmad dan Karin mencoba untuk memahat batu berbentuk kepala Buddha dengan mencontoh patung Buddha di Candi Borobobudur. Pada mulanya, mereka ragu-ragu untuk memulainya karena takut dianggap melanggar ajaran agama Buddha atau dianggap berdosa. Namun, dengan modal nekad, akhirnya berhasil membuat sebuah kepala patung Buddha yang sama persis patung Buddha di Borobudur. Alhasil, arca kepala Buddha buatan mereka berhasil dijual kepada seorang pedagang dari daerah Sumatera dengan harga Rp. 150,00. Berawal dari situlah, Djajaprana bersama kedua saudaranya mendirikan Sanggar Pahat Batu Sanjaya pada tahun 1960.
Pada mulanya, Djajaprana bersama kedua saudaranya masih memproduksi arca kepala Buddha di sanggar yang baru didirikannya. Tatkala ia mendapat dukungan dari Jenderal Gatot Subroto, usahanya pun kian berkibar dengan memproduksi berbagai bentuk kerajinan pahat batu berupa gapura. Melihat kesuksesan tersebut, warga di sekitarnya pun beramai-ramai ngangsu kaweruh (menimbah ilmu) kepada pria kelahiran tahun 1969 itu bersaudara sehingga Dusun Prumpung semakin ramai dengan perajin pahat batu. Sejak itulah, nama dusun ini diganti menjadi Sidoharjo. Kata “Sidoharjo†dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata yaitu sido yang berarti jadi, dan harjo yang berarti ramai. Jadi, Dusun Sidoharjo dapat diartikan sebagai dusun menjadi ramai.
Tidak hanya warga Sidoharjo, warga dari dusun lain di Tamanagung dan bahkan dari desa-desa sekitarnya pun ikut mengembangkan kerajinan pahat batu di daerah mereka. Mulai saat itu pertumbuhan sanggar pahat batu di Desa Tamanagung semakin menjamur setiap tahunnya. Dari tahun 1960-1970 telah berdiri sekitar 14 sanggar pemahat, kemudian tahun 1970-1980 bertambah menjadi 38 sanggar, dan sekitar 1980-1985 bertambah lagi menjadi 45 sanggar. Hingga saat ini, sekitar 5 km di sepanjang lingkar jalan Muntilan-Borobudur-Magelang terdapat ratusan pemahat dan pengusaha kerajinan pahat batu, mulai dari yang muda hingga yang tua. Para perajin tersebut tidak hanya memproduksi berbagai kerajinan pahat batu dalam segala model, misalnya miniatur candi, patung Buddha, gupala, ganesha, patung antik Wisnu dan Siwa, cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, gapura klasik, relief, dan sebagainya.
Sekitar tahun 1970-an, seorang pemahat dari Bali bernama I Nyoman Alim Musthapa yang menikah dengan gadis Desa Sidoharjo memperkenalkan kreasi baru dengan gaya seni patung klasik Bali. Dengan kreasinya yang khas Bali tersebut, I Nyoman kemudian memperoleh pasar modern dengan membangun berbagai fasilitas hotel seperti Hotel Sheraton Solo, Sheraton Surabaya, Senggigi Hotel, Bali Imperial Hotel, dan sebagainya. Demikian pula kreasi-kreasi para perajin dari Desa Sidoharjo juga mulai menyebar ke berbagai kota seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Semarang, dan bahkan diekspor dalam jumlah besar ke Belanda, Austria, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Chili, Jerman, Eropa, dan lain-lain.
Produk kerajinan pahat batu yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara yaitu berupa patung-patung klasik seperti patung Buddha, Dewi Sri, dan Dewi Tara. Pesanan dari mancanegara ini bisa mencapai satu kontainer. Sementara itu, wisatawan domestik lebih menyukai patung klasik ataupun kreasi baru berupa lampion. Jika sedang banjir pesanan, omset seorang pemilik sanggar yang dibantu oleh beberapa orang pemahat bisa mencapai ratusan juta rupiah perbulan.
Harga produk kerajinan pahat batu pun bervariasi, tergantung kualitas pembuatannya. Masing-masing sanggar menentukan sendiri harganya karena hasil pengerjaannya juga berbeda-beda, ada yang halus dan pula yang kurang. Yang jelas harga yang ditawarkan oleh para perajin tergantung pada jenis, ukuran, dan kualitas sebuah produk dengan harga mulai dari kisaran puluhan ribu hingga ratusan juta rupiah. Lampion misalnya, harganya berkisar antara 100-500 ribu rupiah, relief Borobudur per meter persegi dihargai 1-1,5 juta rupiah, patung gupala berukuran 80 cm dijual seharga 1,5-2 juta rupiah, sedangkan yang berukuran 1 meter dihargari sekitar 4-5 juta.
- Keistimewaan
Selain itu, para perajin pahat batu di desa ini mampu melayani pesanan patung untuk berbagai keperluan dengan variasi ketinggian mulai dari ukuran 50 cm hingga puluhan meter. Para perajin juga sering mendapat pesanan untuk membuat tiruan berbagai bangunan bersejarah di beberapa negera seperti Angkor Wat di Kamboja, Pagoda Dagong Shwe di Myanmar, atau Istana Potala di Tibet. Selain patung-patung klasik dan bangunan bersejarah, para perajin juga melayani pesanan patung untuk keperluan interior dan exterior hotel, perkantoran, biara, maupun klenteng.
Tidak hanya itu, wisatawan yang berkunjung ke Desa Tamanagung juga dapat menyaksikan langsung para pemahat membuat berbagai kreasi kerajinan pahat batu. Di sana wisatawan dapat mengetahui bahwa untuk menghasilkan kreasi pahat batu, khususnya patung batu, yang bisa mengeluarkan aura tertentu memang tidaklah mudah, tetapi harus melalui tangan-tangan terampil para perajin, mempunyai jiwa seni serta perasaan yang halus dan ketulusan hati. Sebagai pekerja seni, imajinasi seorang perajin harus menjelajah ke mana saja, baik ke dunia mistis, etnis, religi, humor, bahkan ke hal-hal porno (menurut ukuran sebagian orang), demi menghasilkan karya seni yang mengagumkan.
Berkunjung ke desa ini, wisatawan juga dapat melihat berbagai teknik yang digunakan oleh para perajin dalam membuat kerajinan pahat batu. Seorang perajin terkadang menggunakan teknik tersendiri yang tidak digunakan oleh perajin lainnya. Misalnya untuk membuat kesan kuno pada sebuah patung atau arca, para perajin pada umumnya menggunakan bahan-bahan yang hampir sama yaitu berupa teh, kunyit, gambir, dan tanah liat. Namun, sebagian dari perajin, selain mencampurkan bahan-bahan tersebut juga menambahkannya dengan air accu (air aki) yang berfungsi untuk memperbesar pori-pori patung. Setelah berbagai bahan tersebut dioleskan ke seluruh permukaan patung, patung tersebut kemudian dibakar dengan kayu bakar. Teknik yang lebih unik lagi yaitu seusai dilumuri berbagai ramuan, patung tersebut dikubur di dalam tanah selama satu tahun lebih.
- Lokasi
- Akses
- Tiket
- Akomodasi dan Fasilitas
BAB 5 KESIMPULAN
- Kesimpulan
No comments:
Post a Comment